TBM : diwacana kan untuk pemerataan (informasi) atau pengaburan kemunduran fungsi (perpustakaan) ?
It was in last year since I've read a
post in one of my professional circle..
“JIKA MEMANG
PEMERINTAH, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
dan pemerintah-pemerintah di daerah pada umumnya, ingin sungguh-sungguh
memajukan perpustakaan, mengapa mereka mengembangkan wacana dan institusi Taman
Bacaan Masyarakat?
Jika
memang pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, menganggap bahwa istilah perpustakaan belum merakyat dan tidak
memikat, mengapa justru mengembangkan istilah baru -mengapa tidak mengupayakan
perpustakaan merakyat dan memikat?
Jika memang
pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
dan pemerintah-pemerintah di daerah pada umumnya ingin melibatkan masyarakat
dalam pengembangan perpustakaan, mengapa tidak melibatkan dan mendorong mereka
ikut dalam pengembangan perpustakaan -mengapa malah melibatkan dan mendorong
masyarakat mengembangkan institusi lain yang (katanya) sama dengan
perpustakaan?
Jika memang
pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
ingin mengalokasikan dana rakyat secara efisien dan efektif, mengapa mengadakan
proyek-proyek dengan mata anggaran baru berjudul "taman bacaan";
mengapa tidak gunakan anggaran itu untuk mengembangakan proyek-proyek yang
sudah ada, yaitu proyek pengembangan perpustakaan?
Jika memang
pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
tidak punya unit utama yang mengurusi perpustakaan, kenapa tidak serahkan saja
urusan perpustakaan ke institusi yang punya unit itu -kenapa harus membuat nama
baru, yaitu "taman bacaan", sekadar bisa ikut mengurusi? TANYA
KENAPA!!!!”
(Pendit,
Putu L. http://www.facebook.com/groups/solidaritaspustakawan/)
that post was
clear .. it object to the how serious is the Indonesian government of
maintaining Library development in this country.
and based on the fact
that we've had .. hell-yeah .. i guess that there was a great number of
Librarian and LIS practitioner for whom they pro to that queries.
dan saya termasuk
salah satu yang 1/2 pro pada queries itu :)
kenapa kok cuma 1/2
pro?? kenapa engga kontra skalian?? dengan mendukung sekaligus keduanya sbg 2
lokus organisasi informasi yang eksis di Indonesia, setelah melalui
beberapa filtering layer in mind, berikut sari pandangan saya:
Sejatinya, saya
merasa bahwa queries yang disampaikan Pak Putu meruncing pada eksistensi TBM
yang berada di bawah naungan KEMDIKBUD (sekarang menjadi KEMDIKNAS). Dimana TBM
tipe tersebut tergolong ke TBM Konvensional yaitu TBM yg dikelola oleh Pegawai
Dinas Pendidikan & Ibu rumah tangga, dengan sumber pendanaan dari block
grant atau iuran kegiatan berbayar dan salah satu konsentrasi nya adalah
peningkatan budaya baca anak-anak dan pemberantasan buta huruf (Gong 2012)
TBM tipe ini terlahir
dari misi salah satu Dirjen dibawah komando KEMDIKNAS yaitu Dirjen PAUDNI
(Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal) dalam mengembangkan minat
baca masyarakat. Disebutkan pula pada Profil kegiatan Dirjen PAUDNI, bahwa TBM
digunakan sebagai generator peningkatan minat baca masyarakat dan pengembangan
layanan pembelajaran.
Sementara itu,
Perpusnas sebagai lembaga pusat Perpustakaan Indonesia terindikasi juga
memiliki Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengkajian Minat Baca dibawah
Deputi Bidang Sumber Daya Perpustakaan dengan fungsi kurang lebih sama dengan
TBM yang diinisiasi KEMDIKNAS.
Itulah mengapa, kita
dapat jernih melihat gambaran kegagalan lembaga – lembaga di pemerintahan dalam
mensinergikan fungsi-fungsi yang dijalankan.
Artikel dalam tautan
berikut, telah sukses membuat saya terhenyak, saya yakin jika anda praktisi dan
akademisi IP&I, anda akan berpikiran sama :
Artikel tersebut menempatkan “Rakor Pengembangan
Perpustakaan Umum Perpustakaan Desa/Kelurahan: Indonesia Belum Punya Visi
Untuk Mencerdaskan Bangsa Melalui Perpustakaan" Sebagai judul dari
berita kegiatan Perpusnas di medio 2012.
Jika internal Perpusnas sendiri meyakini visi tersebut
diatas belum dimiliki oleh mereka (Perpusnas, red.) sebagai lembaga pemerintah
non kementerian namun sudah diadopsi oleh lembaga kementerian melalui inisiasi
TBM nya, apa yang terjadi sesungguhnya pada sistem pemerintahan di Indonesia
menjadi semakin nyata. Perlombaan program dan anggaran tidak lagi kasat mata.
“Dilahirkan” dari Ibu yang berbeda, Perpustakaan dan TBM Konvensional serasa
jauh dari kemungkinan untuk menjadi mitra.
Harapan justru datang dari keberadaan TBM jenis lain,
yaitu TBM Mandiri, dan komunitas baca atau literasi. Dengan tipikal kegiatan
yang inovatif dan kecenderungan progressive, TBM yang sumber dana nya berasal
dari non pemerintah ini justru berpartisipasi aktif dalam “perayaan literasi”
baik di kalangan akar rumput hingga strata menengah atas yang tercakup dalam
lingkaran layanannya ..
Resolusi masalah
tersebut dalam hemat saya hanya bermuara pada 2 kata : komunikasi &
transparansi! Selama lembaga-lembaga di pemerintahan Indonesia tidak transparan
dalam pembelanjaan anggaran dan mengkomunikasikan fungsi-fungsi deputi di
bawahnya secara jelas, maka overlapping sebagaimana dicontohkan dalam tulisan
ini akan terus terjadi.
Pustakawan dan Praktisi IP&I : Mendukung Siapa?
Jika muncul
pertanyaan seperti diatas, kepada bentuk yang mana seharusnya dukungan
diberikan? Secara sederhana mungkin kita mengerucut pada : Perpustakaan saja.
Karena ini lembaga induknya maka lembaga ini yang perlu disolidkan.
Saya tidak menegasi,
saya mengangguk penuh sepakat NAMUN apa iya kita akan mendukung lembaga induk
jika orientasi pengembangannya hingga dekade ini masih saja berputar putar di
masalah minat baca masyarakat, kuantitas perpustakaan dalam konteks organisasi
informasi, dan gunungan problem yang berujung pada frustasi panjang dan
mengatasnamakan minimnya anggaran sebagai “dosa” atas tidak meratanya akses
informasi di Indonesia.
Pustakawan perlu
terus kritis – in a good way tentu, supaya pelan tapi pasti sikon tersebut
diatas tidak membelit kita lagi ke depannya. TBM – TBM mandiri dan komunitas
literasi yang tidak bersumber dari dana pemerintah (kecuali diberi donasi)
serta sudah pasti TBM jenis ini digenerator oleh pejuang-pejuang literasi yang
semangatnya ala pejuang 45, adalah potensi mitra sejalan dengan perkembangan
Perpustakaan.
Perpustakaan bisa
bersinergi dengan eksistensi TBM – TBM Mandiri dan komunitas literasi untuk me-massive-kan
perjuangan membentuk perpustakaan mini hingga ke pelosok daerah. Hingga dana
yang sedianya digunakan untuk membangun unit – unit baru perpustakaan, justru
bisa dimaksimalkan untuk pengembangan koleksi dan layanan perpustakaan mini
tersebut.
Di penghujung pena
kali ini ijinkan saya untuk memanggil ingatan kita pada suatu spirit literasi :
When the former President was dancing with tons of books in the prison,
so why do we whimpering for such proper place just to start to read ??
jangan meninggalkan perpustakaan hanya karena tidak mengerti bagaimana mengelola perpustakaan. kemudian bikin program yang mirip perpustakaan dengan alasan biar gampang dikelola. saya rasa jelas, program pengembangan minat baca ya dimulai dari perpustakaan, itu saja dulu yang dipertajam.
BalasHapussaya sepakat Bapak, saya harap tulisan ini bisa menggenerasi rekan2 untuk tidak salah kaprah dalam mengembangkan basis literasi di Indonesia .. Semoga Perpusnas dan Kemdiknas sbagai aktor pembeda gerakan ini bisa sinergis ke depannya
BalasHapus